
“Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi” dalam Paradigma Ekosentrisme
Lebih dari seribu empat ratus tahun silam telah dikenal seorang pemuda dari Bangsa Arab yang memiliki pemikiran cemerlang, sehingga mampu menghadirkan pembaharuan dan masa-masa gemilang bahkan bagi seluruh penjuru dunia. Muhammad Bin Abdullah, tumbuh pada masa yang penuh konflik dan kurangnya ilmu pengetahuan (Jahiliah). Keadaan demikian memantik semangat dalam benak seorang Muhammad (Alaihi Afdhalu As-Shalatu wa As-Salam) untuk menghadirkan perubahan, yang pada kemudian hari disempurnakan dengan titah kepemimpinan (Nabi dan Rasul).
Sebagai Seorang Pemimpin Besar, Muhammad (Alaihi Afdhalu As-Shalatu wa As-Salam) sudah barang tentu sangat menyadari bahwa perubahan yang besar dapat diraih bila diawali dari pemikiran yang besar pula, dalam hal ini berupa kesadaran yang sempurna dari tiap-tiap individu. Hal ini tersirat dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Bila segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan bila segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Hati adalah pusat rasa yang memancarkan kesadaran. Hati yang terbimbing dengan pengetahuan melahirkan kesadaran dan memperbaiki perilaku, yang dalam jangka panjang, akan berdampak pada kemajuan peradaban. Dalam tindakannya, Muhammad (Alaihi Afdhalu As-Shalatu wa As-Salam) seringkali berfokus pada pengajaran dan pembimbingan kepada manusia (ummat) yang menumbuhkan kesadaran ideal bahkan bagi lintas generasi dalam menggapai peradaban yang berkualitas.
Ayat 30 dalam Surat Al-Baqaroh yang menjelaskan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, menjadi bagian dari garis besar pengajaran Muhammad (Alaihi Afdhalu As-Shalatu wa As-Salam) yang berangkat dari “Wahyu”. Dimana ayat tersebut berupaya memberitahukan tentang bagaimana kedudukan dan fungsi manusia yang ideal dalam berkehidupan di muka bumi. Di dalam Tafsir Jalalain, kata khalifah dimaknai sangat tinggi, dimana manusia (Adam) sebagai khalifah berkedudukan sebagai pengganti atau wakil Tuhan dalam mengurus kehidupan di muka bumi. Namun pada pada kesempatan lain, Imam Husain bin Mas’ud Al-Baghowi (Tafsir Al-Baghawi Ma’alimut Tanzil) memberikan penafsiran yang berbeda, yaitu kedudukan khalifah sebagai pengganti adalah untuk menggantikan makhluk yang pernah diutus sebelum manusia di muka bumi yang telah banyak berbuat kerusakan. Meski kedua penafsiran tersebut terkesan berbeda, ada kesepakatan dalam tujuannya, yaitu hadirnya manusia “sebagai khalifah” di muka bumi ini bertujuan untuk memelihara, perbaikan (memulihkan kerusakan) di muka bumi.
Namun mungkin pada masa-masa sekarang, pemandangan yang kita saksikan justru berbanding terbalik. Banyak aktifitas-aktifitas manusia yang merugikan, seperti tindakan eksploitasi sumberdaya alam demi kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan upaya konservatif, sehingga menimbulkan ketidakstabilan ekosistem. “Kerusakan” mungkin saja sedang terulang saat ini di muka bumi, dan ini menimbulkan pertanyaan besar bagi kita manusia, “Masihkah kita seorang Khalifah?”.
Mungkin kita (sebagai manusia) tidak pernah merasa bersalah dengan berbagai potensi kerusakan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan kita saat ini, disebabkan minimnya kesadaran dan pemahaman kita, atau bahkan keliru dalam memahami makna “Khalifah di Muka Bumi”. Memaknai khalifah sebagai pengganti atau wakil Tuhan dalam mengurus kehidupan di bumi tanpa diimbangi dengan kesadaran ideal kadang menimbulkan sikap manusia yang seolah merasa berhak atas pemanfaatan sepenuhnya terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya. Padahal, seharusnya kita menggaris bawahi tujuannya, yaitu memulihkan kerusakan dan memelihara kehidupan di muka bumi.
Aldo Leopold, seorang penulis berkebangsaan Amerika mempopulerkan paradigma ekosentrisme dalam bukunya A Sand County Almanac (1949), yang mana melalui paradigma ini ia berupaya menyadarkan manusia bahwa alam dan seluruh kehidupan di dalamnya memiliki nilai “intrinsik”. Dalam paradigma ekosentrisme, manusia bukanlah makhluk yang lebih tinggi kedudukannya di antara makhluk lainya, melainkan berkedudukan sejajar, sama nilainya. Pola ekosentris menekankan kepada manusia agar tidak memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungannya secara tidak adil (berlebihan dan tidak berupaya mengembalikan atau memulihkan), mengingat semua hal di muka bumi ini adalah berkedudukan yang sama.
Paradigma ekosentrisme mungkin menawarkan arah yang sama bagi kesadaran ideal manusia yang diinginkan terbangun dalam setiap individu, sebagaimana ajaran Muhammad (Alaihi Afdhalu As-Shalatu wa As-Salam). Pada masa sekarang dibutuhkan kesadaran dan semangat yang tinggi untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan kita. Paradigma yang ideal perlu dibangun dengan tetap berlandaskan nilai-nilai spiritual. Memaknai khalifah dengan tepat, bukan sebagai makhluk yang paling berkuasa di muka bumi, tapi sebagai “pembaharu” yang membawa ide-ide kebaikan bagi kelestarian alam adalah tujuan yang seharusnya kita wujudkan.
Alam raya telah diciptakan jauh masanya sebelum penciptaan manusia. Mungkin pada masa itu hutan masih hijau dan lebatnya, sungai-sungai mengalir deras dan jernihnya. Apakah manusia tidak merasa bersalah bila telah merubah tatanan alam yang demikian indahnya? Manusia hadir di muka bumi seharusnya bukan untuk mengungguli kedudukan makhluk lainnya, tetapi manusia hadir sebagai keluarga bagi alam raya ini. Sebagai bagian dari keluarga alam ini dan bahkan mengemban amanah sebagai khalifah, hendaknya manusia berlaku adil terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya. Manfaatkan seperlunya – lestarikan semaksimalnya, agar denganya kita sebagai ummat terpilih (Ummat Nabi Muhammad) dapat meraih peradaban gemilang pada masa mendatang.
Penulis: Basuki Rahman, S.Pd., M.Ling.
(Dosen Jurusan Ilmu Lingkungan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi)